Putri Kecil Bapak

anovelia
3 min readMar 15, 2023

--

Jumat lalu adalah hari di mana aku memutuskan untuk memeriksakan mataku yang belakangan ini memang cukup mengganggu. Aku datang ke klinik siang itu seorang diri. Mendaftar, melakukan pemeriksaan awal, dan menunggu sampai dokterku datang. Sebelumnya aku sudah membuat janji bertemu pukul 13.30 namun nyatanya sedikit terlambat dan baru diperiksa sekitar pukul 14.05

Namaku dipanggil oleh perawat dan aku langsung diperiksa. Menjelaskan keluhanku beberapa bulan terakhir yang merasa tidak nyaman, lalu dokter menyarankan untuk langsung tindakan. Sebelumnya dia bertanya, “Ke sini sama siapa?” dan kujawab “Sendiri, dok.” sambil merapikan tas selempang. “Bawa kendaraan apa? Nanti pulangnya yakin bisa sendiri? Khawatir masih nyeri” kata dokter lagi meyakinkan.

“Saya naik motor, Insya Allah bisa sendiri.” kataku tegas.

Akhirnya dokter langsung memerintahkan perawatnya untuk menyiapkan segala peralatan yang akan digunakan untuk tindakan insisi pada mataku. Aku menunggu selama hampir 20 menit sebelum akhirnya masuk ke ruang tindakan. Selama itu juga aku memikirkan apakah aku benar-benar bisa pulang menyetir motor sendiri dengan keadaan mata sebelahku yang ditutup perban setelah tindakan nanti? Aku mulai bimbang dan mencoba mengetikkan sesuatu di kolom pesan,

“Pak, hari ini aku langsung tindakan. Kata dokter bisa langsung saja”

“Kamu sendirian gak apa-apa? Baca doa, sholawat biar tenang, biar tensinya nggak naik. Tindakan kecil, enggak perlu takut”

“Dokter bilang kalau ada yang bisa jemput, lebih baik”

Aku memejamkan mata sebentar, menarik napas pelan. Kubilang pada diriku sendiri, aku butuh seseorang. Aku butuh ditemani. Dengan perasaan berat dan takut-takut akhirnya kuputuskan untuk mengetik lagi,

“Tapi kalau bapak enggak repot, bisa ke sini nggak?”

“Ya sudah, tunggu saja. Bapak siap-siap.”

Setelah pesan terakhir terkirim, aku pun dipanggil masuk ke ruang tindakan. Ruangannya cukup kecil dan dingin. Ada lampu sorot yang sangat terang, alat-alat medis seperti pisau bedah, gunting, alat jahit, perban, kapas, kassa, dan barang lain yang memang seharusnya ada di situ. Aku diminta untuk memakai pelindung kepala berwarna hijau, menidurkan diri di atas bed, serta menenangkan diri sebelum akhirnya di suntik bius.

Mataku terpejam, si perawat mengoleskan antiseptik ke kelopak mataku dan didiamkan beberapa saat. Kemudian dokter datang siap untuk melakukan insisi, aku diminta membuka mata, saat itu juga dokter bilang “Tarik napas lalu buang perlahan, saya suntik sekarang. Jangan dilawan, dirasakan saja.” Karena ini pertama kalinya aku dibius, dioperasi, terlebih lagi di mata sontak aku merasa kaget. Aku sempat melawan dengan berkedip dan nyatanya itu membuat dokter sedikit terhambat. Kaget sebentar, selebihnya aku biasa-biasa saja. Aku merasakan kelopakku disayat-sayat entah menggunakan silet atau pisau bedah semacam itu. Karena tindakannya dilakukan dengan mata terbuka, aku bisa melihat samar apa yang diangkat dari kelopakku.

Sekitar 15 menit tindakan itu akhirnya selesai, mataku ditutup perban. Sakitnya hanya pada saat disuntik bius, selebihnya kalau aku bilang hmm nggak ada rasa sama sekali. Ternyata nggak sesakit dan semenyeramkan yang aku bayangkan. Aku masih duduk di bed, perawat mulai membersihkan alat-alat dan bertanya kecil “Sakit nggak, mba?” dan kujawab “Enggak sakit mas” sambil tertawa samar.

Setelahnya aku menebus obat yang sudah diresepkan dokter. Tidak lama dari itu Bapakku datang. Agak terlambat karena aku sudah selesai, tapi tak apa setidaknya dia ada di sini sekarang.

Aku pulang bersama Bapak. Bapak yang akhirnya menyetir, aku diboncengnya. Sedewasa apapun aku, semandiri-mandirinya jiwaku, aku tetap butuh Bapak. Aku tetap putri kecil di mata Bapak.

--

--